"Muaq tongano muane Pattandai mo-oq galung Nadiengei Sipettombangan cera." Bila anda betul pahlawan Tunjukkanlah lokasi dan lapangan Akan di tempati Sama bergelimang di telaga darah
Sabtu, 27 Februari 2016 20:42:59 | Dibaca : 6934 kali
Sulbar.com - Bersamamu di Kursi Cafe Pada Sebuah Senja
- Untukmu Kekasihku
kita masih disini bersama memesan kenangan pada senja yang datang mengantarkan cinta.
lalu dengan amat pelan kita sama mereguk kenangan hingga tandas.
pada matamu yang bawel mengingatkanku pada hikayat percintaan yang saling menatap lalu menunduk dalam pula ranum.
seraya engkau berujar ikatlah aku dalam cengkraman lamunan dan penghayatan tanpa serapah dan tembang yang melukai kata-kata.
dan sepertinya kita telah begitu pandai merawat kata-kata sebagai mantra.
serupa dalamnya tatapmu yang padanya kutemukan harapan untuk jatuh dalam pelukan.
tapi kita tak mungkin berpelukan dalam senja bersama sejuta mata dan saksi.
demikianlah kita telah begitu lama memaknai degup hati kita sebagai saksi pada percintaan yang tak pernah sampai di penghujung waktu.
senja ini begitu fasih kita sulam setelah begitu lama kita tak pernah sama duduk dan menatap dalam diam di sebuah kursi cafe pada sebuah senja.
raihlah aku. rangkuhlah aku.
sebagai penghayat cinta yang selalu siap menjadi puisi yang paling puitik di hatimu dan dijiwamu dan disegenap relungmu sebagai cinta yang telah memuisi.
ya, kita akan masih tetap disini sama diam dan mematung menunggu padi yang pelan menguning hingga senja tidak akan lagi datang melerai percintaan kita.
tidak sebagai kopi yang pekat tidak pula sebagai gelas angsa bahkan tidak sebagai laron juga tidak pula sebagai senja.
hanya sebagai doa yang melesap masuk ke dalam puisi saat itu, adzan magrib mengajak kita pulang untuk kembali sujud.
dan biarlah kursi di cafe ini kembali menunggui kita kembali datang tepat saat senja menguning ditemani padi yang mulai merunduk.
dan kita akan kembali berguru pada padi yang sujud kepada yang maha puisi.
Mandar, 27 Februari 2016
Mamuju - Bersama Muhaimin Faisal
bangun pagi kita menemukan matahari tergeletak di jalan itu di jalan sebuah kota yang bergerak menjadi binal kota binal yang dihuni manusia bergerak menjadi banal
musik dangdut menelisik rongga nalarku mencubit pahaku dan merontokkan kumis kucingku
kota-kota yang bergerak pulang dan pergi tetapi tetap disitu-situ seperti kartu sambung tulang dan kita tak lama lagi akan jadi tulang belulang yang dikremasi menuju tanah kuning bekas banjir yang becak
ingatan tumpah, pada susu dan kopi racikanmu seperti diskusi tumpah dan menyenggol langit dan rembulan
kita terbangun, membakar rokok dan kantuk lagi lalu tanpa sadar kita tertidur, namun kita masih juga diskusi dalam dengkur yang pulas
lihatlah. lihatlah dengan mata mawas ia datang dari selatan dibawah oleh angin tenggara mengabarkan perang dan pengingkaran pada kata-kata
seperti perempuan itu yang siap memangsa dan dimangsa dan kita sama terpingkal-pingkal tatkala melihat ia yang pelan mencari talkun
menuju mesjid dalam hujan yang rintih-rintih mungkin ia menyangka tuhan masih berderai dalam hujan
orang-orang sibuk bermain petak umpet bersama keteledoran dan dingin menggigil, seperti nasi bungkus yang membangunkan ditemani kopi dan taripang
saudara darimana dan hendak kemana, adakah saudara punya pemimpin atau adakah saudara masih butuh pemimpin, sedang tuhan telah begitu otonom kamu miliki dan kau kuasai? pemimpin itu menguasaimu, tetapi tuhan tak berhitung kekuasaan, bukan?
saudara, singgallah sejenak duduk merapat disini, biar kita sama membaui keringat perjalanan kita yang lupa mandi dan gosok gigi
Cafe Belum Ada Nama, 12-14 April 2015
Tentang Penulis
Nama :
M S TAJUDDIN
Aktif menulis di SulbarDOTcom
ARTIKEL TERKAIT
KOMENTAR
Wilson Rappa MPA unasman :
Sabtu, 27 Februari 2016 20:42:59
Rintikan hujan menjadi melodi di pagi yang mendung namun tak seindah petikan guitar hanya saja tak terhitung manfaat datang mu,di sudut kampus ku dengar sentakan,,mungkinkah kaleng-kaleng bekas itu menari...?? mata pun penasaran dan kaki berlahan melangkah, ternyata kaleng-kaleng bekas tidak menari namu berjalan di atas bahu seorang boca perempuan polos yang hampir tak kusaksikan wajahnya. pendidikan dan aktivitas sebayanya yang suda merasakan kesejatraan tak senasip si malang ini,dia kedinginan,dia kelelahan tetapi ekonomi memaksanya harus menerima kenyataan.. ..saat itula hati ku berteriak...di manaka kalian..? ada kakalian..? Yang peduli..?.tatapi pasti sang Bos di kantor tdk.mendengarnya karna bunyian-bunyian gesekan uang ditangannya yang tiada henti ##@
#WR_2017
Situs ini merupakan situs berita online independen seputar wilayah Sulawesi Barat This site is an independent online news sites around the area of West Sulawesi