Sulbar.com - Dulu para penulis atau pesastra memiliki kerendahan hati yang begitu luhur. Itu ditunjukkan dengan banyaknya karya sastra dulu yang tidak jelas benar siapa penulisnya. Begitu kutipan lontaran pemikiran yang diuraikan, peneliti lontar dari Litbang Agama Sulawesi Selatan Husnul F Ilyas tatkala membawakan materinya ditengah sejumlah peserta yang terdiri dari tokoh pemuda penggiat seni budaya Mandar pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Yayasan Darputri Bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar di Cafe dan Resto Beruq-beruq Polewali, siang tadi.
"Para penulis sastra dahulu, memiliki kerendahan hati dan itu kita bisa temukan pada beberapa naskah sastra kuno yang hanya meletakkan disitu, ditulis oleh orang fakir. Beda dengan sekarang. Tetapi ini harus dimaklumi juga, mengingat karya sastra kini juga kait mengait dengan hak cipta para penulisnya," ujarnya.
Sebagai pembicara awal dari dua pembica kunci, Husnul mengatakan, khusus naskah-naskah Mandar kenyataannya memang tidak cukup terkenal, "padahal jumlahnya cukup banyak, namun hanya dikenal di tingkat lokal. Sastra lisan Mandar sangat banyak yang potensial sekali untuk digali dan dikembangkan," urainya.
Sehingga, bagi Husnul, Mandar penting kembali membangun kesadarannya untuk menggali dan mendokumentasikan sastra dan lontaraq Mandar itu, apalagi ditengah pengaruh global. "Kita memang tidak bisa membendung pengaruh global yang telah begitu banyak membuka ruang bagi anasir-anasir baru yang banyak merubah pola pikir masyarakat kita. Padahal kita memiliki banyak naskah kuno yang didalamnya memuat nilai-nilai, termasuk pendidikan karakter yang penting untuk kita gali dalam kerangka kita membangun karakter generasi kita hari ini," ujarnya.
Bahkan yang menarik menurut Husnul adalah, ada sekitar empat puluh empat persen naskah kuno Mandar adalah naskah Alquran yang ditulis tangan. "Saya kira ini penting kita didokumentasikan dengan baik. Karena ternyata di Mandar kita memiliki begitu banyak naskah kuno. Dan itu baru Al Quran yang ditulis tangan, belum lagi yang lainnya," tuturnya.
Selain itu, Husnul juga sempat menyinggung tentang tidak begitu dikenalnya orang Mandar di mana-mana, itu menurut dia, lebih dikarenakan oleh kenyataan orang Mandar yang amat sangat adaptif sehingga begitu gampang menyesuaikan dialeknya dengan orang luar, utamanya orang Mandar yang berada di rantau. Karenanya Mandar meraib, mereka yang orang Mandar terpaksa dikenali sebagai orang Bugis atau Makassar dan sebagainya," bebernya.
Berbeda dengan Husnul, Pemerhati Budaya Sri Musdikawati dari Yayasan Darputri yang tampil sebagai pemateri kedua dalam pemaparannya lebih banyak menyinggung seputar penggunaan bahasa Mandar pada beberapa keluarga Mandar. Padahal menurut dia, penting dibangun kesadaran untuk kembali menggunakan bahasa ibu itu.
"Ini penting agar Mandar dikemudian hari tidak punah. Kenyatan beberapa observasi yang kami lakukan menunjukkan kian rendahnya pengenalan bahasa Mandar, termasuk pengenalan terhadap sastra lisan Mandar, seperti kalindaqda misalnya yang hasilnya menunjukkan begitu banyak generasi kita di tingkat pelajar yang tidak tahu, atau tahu tapi tidak mengerti. Karena penting kita bertanya kembali kini, apakah kita mau melihat kenyatan anak-anak kita buta aksara latin ataukah buta budaya," sebut dalam nada tanya pada acara yang dimoderatori langsung oleh Askarullah Darwis.
Menariknya, pada sesi terakhir FGD yang dipandu oleh Subair Sunar dari Muqim Patappulo Institute menelorkan sejumlah rekomendasi penting yang berangkat dari kegelisahan bersama para peserta yang hadir melalui forum itu. Salah satunya adalah direkomendasikannya pembentukan forum yang mendaulat Asri Abdullah sebagai Koordinator Forum yang akan bekerja serius mengawal dan melakukan pendampingan pada sejumlah hasil rekomendasi. Termasuk menempatkan masjid tertua di Lambanan Kecamatan Balanipa selain sebagai peninggalan sejarah juga sebagai rumah naskah kuno Mandar yang kelak akan difungsikan sebagai pusat museum naskah Mandar.
[MIK/yat]
|