Sulbar.com - Jika mahasiswa sering dipandang sebagai agen perubahan pembawa aspirasi rakyat yang tergerak atas dasar nurani. Maka status mahasiswa pada aras idealnya haruslah dipergunakan sebaik-baiknya.
Mahasiswa harus banyak belajar dan berbuat sesuatu yang positif, tidak saja demi kepentingan besar gagasan tentang almamater: ibu kandung pengetahuan. Tetapi lebih jauh dari itu, adalah bagaimana kepentingan bangsa dan negara didorong dan dapat termanifestasi dalam sikap dan tindakan.
Penulis tidak akan membahas mengenai agen perubahan itu, penulis hanya akan menggaris bawahi berbuat sesuatu yang positif. Meskipun sebagai agen perubahan juga adalah hal yang positif. Tetapi sungguh, ini bukan berarti saya tengah meragukan mahasiswa terutama hamasiswa yang kuliahnya di Unasman, dimana penulis juga masih berstatus mahasiswa di kampus biru itu.
Karena demikianlah adanya, mahasiswa sebagai agen perubahan acapkali hanya berakhir menjadi semacam mitos belaka. Setelah budaya komsumerisme yang mulai menyerang dan menjadi seperti kiblat baru kehidupan mahasiswa kita. Dimana hedonisme serta sikap pragmatisme begitu menjamur dan telah begitu gamblang mengepung mahasiwa kita dengan satu tujuan tunggalnya, mencapai level manusia modern.
Titik persilangan komsumerisme dan kemoderenan inilah yang dalam kacamata penulis, kemudian ditengarai banyak melahirkan gelombang generasi hedonis dan generasi instant. Dan ditengah itu, masih mungkinkah, serta masih layakkah kita berharap akan berlahiran generasi baik yang tercerahkan serta laik disebut agen perubahan. Ditengah serangan invasi budaya konsumerisme dan keinginan untuk mengklaim diri sebagai manusia modern itu?
Barit Ranset Tentang Indonesia
Jika melalui ulasan ini penulis bisa jujur, maka dapat dikatakan gagasan tulisan ini sejatinya terlecut oleh ulasan buku yang ditulis Barit Ranser yang berlabel "kamu Indonesia banget". Yah, Barit yang warga Estonia dan berkesempatan mendapatkan beasiswa di Indonesia itu menceritakan pengalamannya selama tinggal di Indonesia yang sangat berbeda jauh dengan Estonia. Yang menarik dari sekian yang menarik dalam buku yang diterbitkan Transmedia Pustaka Juni 2013 lalu itu salah satunya adalah, tentang sampah yang diberi sub judul buanglah sampah dengan tertib di jalanan.
Disitu Barit mencatat ihwal kejengkelan kawan-kawan bulenya saat melihat orang-orang di Indonesia yang sangat tidak bertanggung jawab dengan lingkungan dan dengan begitu enteng tanpa beban membuang sampah di jalanan. Padahal disana sini telah disiapkan tempat sampah. Dalam pandangannya terbaca, betapa sampah yang beserahkan di jalanan itu sangat menggangggu para bule yang datang ke Indonesia. Dan setelah membaca itu, penulis teringat dengan keluh kesah kawan saya, Irwan yang juga adalah mahasiswa yang satu kampus dengan saya di Unasman. Irwan di samping tercatat sebagai mahasiswa di kampus itu, juga adalah salah satu pekerja ulet yang ulung pada bagian kebersihan kampus.
Setiap sore Irwan menyapu di kampus. Saban sore pula Irwan menggerutu soal sampah yang dibuang secara tidak bertanggung jawab dari mahasiswa. Walaupun Irwan sudah menempel di setiap papan pengumuman kampus "buang sampah pada tempatnya". Namun tulisan itu mungkin tidak ada yang membacanya atau ada yang membacanya, tapi tidak peduli atau memang itu sudah menjadi sifat laten orang Indonesia yang begitu gandrung membuang sampah sembarangan tempat.
Yang membuat penulis tidak habis pikir, ternyata kebangetan Indonesia ini ternyata dilakukan sekumpulan manusia intelek dan terdidik di dalam lembaga akademik seperti kampus, padahal Menurut Soe Hok Gie, kampus adalah cerminan masyarakat. Bahwa hal terkecil yang terjadi di kampus juga akan berdampak nyata kepada masyarakat di luar kampus.
Nah kalau kita tinjau dalam kampus bagaimana tidak bertanggung jawabnya mahasiswa atas sampahnya, lalu bagaimana pula dengan masyarakat di luar kampus terhadap sampah. Membuang sampah di sembarang tempat, kita tahu bersama adalah berbuatan yang negatif. Menjadi agen perubahaan tidak mesti berbuat hal-hal besar, semisal melulu melakukan aksi juga demonstarsi besar-besaran. Kritik sana sini dan berusaha untuk tampil sebagai pahlawan di setiap momentum yang mengangkat persoalan rakyat.
Melakukan perbuatan-perbutan yang positif di kampus-pun, semisal membuang sampah pada tempatnya, hemat penulis juga adalah sebentuk realisasi nyata dari apa disebut sebagai agen perubahan. Sebagaimana kampus juga adalah cerminan masyarakat. Entahlah.
|